Bunga, elok namanya seelok rupanya. Berwajahkan campuran Tionghoa-Jawa,
berbalut tubuh mungil. Usianya kini beranjak remaja akhir menuju dewasa tapi
dia masih terlihat seperti anak kecil, kadang pemalu kadang pecicilan dengan
pemikiran lebih 10 tahun dari usianya kini. Keceriaan terpancar jelas tiap kali
dia tersenyum. Pantang untuk bersedih seburuk apapun keadaannya, karena dia
percaya bahwa tuhan tidak akan pernah tidur. Pribadinya sangat menyenangkan
hingga membuat dia mudah untuk berteman. Satu kebiasaan buruknya, melahap
seberapa pedas kripik yang ia bawa dan tiada hari baginya tanpa memakan kripik
pedas tersebut. Sehabisnya kripik itu pun masih jari lentiknya untuk dijilati
sisa-sisa keripik. Dan satu hal yang membuat aneh banyak pihak adalah, sebanyak
apapun kripik yang dia makan tidak akan berarti pada perubahan postur tubuhnya.
“Makan mulu, tapi gak gendut-gendut,” seloroh Ifah, teman satu sanggar
theater.
Mereka berdua bagaikan dua sisi koin, berbeda tapi tak terpisahkan. Seorang
Ifah sangat bertolak belakang dengan Bunga, tapi itulah yang membuat tali
persahabatan mereka tetap terjalin dengan erat.
“Mau?” Bunga menawari Ifah bungkus plastik berisi keripik pedas favorit
Bunga. Ifah melihat tulisan yang tertera pada bungkus tersebut, ‘level 10’
membuatnya enggan untuk menerima pemberian dari sahabatnya tersebut. “Wes
rausah wae.” Tolak Ifah.
Bunga dan Ifah tergabung dalam sanggar seni theater bernama sanggar
‘Arimbi’, sejak SMP mereka menjadi bagian dari sanggar tersebut dan sejak
itulah persahabatan mereka terjalin. Sahabat untuk saling berbagi, sahabat
untuk saling berkeluh-kesah, dan sahabat untuk segalanya. Maka dari itu mereka
pengertian diantara mereka seolah tertata rapi tanpa harus mengucapkan kata.
Bagaimana saat serius, bagaimana saat bercanda seakan mereka tidak pernah
mengalami konflik besar. Sekalipun saling ngambek mereka akan diem dan saling
bolos dari latihan theater hingga mereka akan baikan dengan sendirinya, saat
mereka melihat keanehan dan saling memecahkan tawa mereka saat sadar bahwa ini
ga biasa ngambekan lama-lama.
“Ngambek nih!!!” mata Bunga melotot lalu menggembungkan pipinya, sebuah
aksi ancaman yang terlihat lucu dimata Ifah.
“Ini makan!!!” Bunga menjulurkan
tangan dengan sekeping keripik diujung jari ke muka bibir Ifah, tawa semakin
pecah seketika itu juga. Dan mereka selalu baik-baik saja.
Mereka berdua juga belasan remaja lain tengah melakukan persiapan
pertunjukan theater bulan depan. Gerak mereka masih kaku seringkali salah.
Pembimbing sanggar sekaligus sutradara terus memberi motivasi agar tetap
semangat kepada seluruh anak didiknya, dia yakin dengan semangat yang kuat dan
tekat yang teguh maka pertunjukan mereka akan menjadi sebuah epic yang luar
biasa. Tajuk ‘Lutung Kasarung’ dipilih karena sangat pas dengan tema yang akan
ditampilkan, cerita remaja jaman dahulu yang dimodifikasi ke era sekarang. Kontemporer
orang biasa menyebutnya. Gladi mereka penuh energi tiap minggunya dengan
iringan lagu remaja modern. Mereka terus saja berlatih keras agar tidak
mengecewakan pada saat pentas kelak.
Pada sebuah senja, sanggar tersebut sudah hampir kosong. Bunga dan Ifah
masih menikmati sore hari di depan pendopo.
“Bunga, liat itu!” Ifah menarik
perbincangan kearah dua meriam peninggalan belanda di depan mereka.
Bunga pun menoleh, “selain jadi pajangan benda itu Cuma jadi sejarah aja.”
Ujar Bunga sambil mengunyah keripik pedasnya.
“Bukan, ah!” Ifah kesal mendengar jawaban dari sahabatnya, dicubitlah pipi
tembem milik Bunga yang sangat mirip dengan bapao. “Lalu apa?”
“Keduanya teguh, saksi hidup kota ini dan yang terpenting mereka selalu
bersama apapun yang terjadi disekitar keduanya.” Ifah menunjuk kokohnya dua
meriam tersebut, tanpa gerak seperti mengawasi lalu-lalang jalanan didepan
mereka.
“Bingung fah,” bunga memasang muka polosnya, tidak tahu akan maksud
perkataan dari sahabatnya.
“Aku ingin kita selalu bersama, teguh dalam menggapai cita-cita kita tanpa
mengorbankan persabatan kita. Apapun yang terjadi, kita harus tetap bersama.”
Ifah memperjelas, tapi Bunga justru bereaksi lain, “begini?” Bunga menungging
meniru visual bentuk meriam di hadapan. Tak pelak Ifah kembali tertawa melihat
kegelian yang terjadi.
ᴥᴥᴥᴥᴥᴥᴥᴥ
Balkon lantai dua menghadap ufuk barat, menantang kokoh dua gunung saling
bersisiha, Merapi dan Merbabu. Setiap senja hari tiada kesibukan lain selain
melukis bagi Tian, pemuda dengan darah seni mengalir deras di dalam tubuhnya.
Tian begitu luwes memainkan kuas diatas kanvas, menorehkan karya sepenuh hati.
Lukisan abstrak cenderung tidak beraturan mencerminkan pribadinya yang tidak
suka untuk diatur. Dengan manajemen gambar yang baik, maka coretan itu terlihat
indah menghabisi keindahan langit sore dihadapannya.
Tian seorang mahasiswa institut kesenian, berenerji tinggi dan tidak pernah
melewatkan senja dari melukis. Pada waktu inilah kemampuan berkaryanya
menjadi-jadi. Tak peduli apapun yang terjadi diluaran sana. Tian terus saja
menghasilkan karya-karya ajaib dan tidak ada yang bisa yang menghalanginya
ketika Tian sudah menghadapi kanvas dengan kuasnya, pun dengan kedua
orangtuanya yang hanya bisa memaklumi dan melihati anaknya berkesenian.
Menjelajahi dimensi lain dengan melukis, itulah rasa yang didapati oleh Tian.
“Selesai juga!” Tian melihat hasil karyanya hari ini, seketika itu juga
Tian menyudahi kegiatan melukisnya saat langit mulai temaram dan
bintang-bintang mulai bermunculan satu-satu.
ᴥᴥᴥᴥᴥᴥᴥᴥ
Bersambung………
Tidak ada komentar:
Posting Komentar