Karena sudah terlalu lama menunggu dan lelah, pagi itu kamu mengajakku berjalan ke timur.
Terus ke timur. Jauh. Ke arah terbit matahari.
Entah kemana tujuannya kamu pun tidak tahu. Tapi kita tahu, arah ini, menuju tempat terbit matahari. Matahari memang tidak punya tempat terbit seperti yang digambarkan anak-anak ketika pelajaran menggambar di SD, tapi kamu yakin bahwa arah ini akan mempertemukanmu dengan hal-hal lain yang tidak pernah kita tahu karena selama ini kita hanya diam. Menunggu.
Setelah beberapa lama berjalan, aku tahu bahwa kamu mengajakku berjalan ke arah ini bukan tanpa pertimbangan. Kamu mengajakku berjalan menantang matahari. Sejak pagi sampai siang, matahari akan ada di depan kita. Seperti mata raksasa yang menatap tanpa jeda. Kita terpaksa balik menatapnya karena kita nyaris tidak punya pilihan lain. Kamu menyarankan agar aku menutup mata sambil berjalan—toh kamu akan selalu menggandeng tanganku sehingga aku tidak akan tersandung dan jatuh–tapi aku menolak. Kalau perjalanan ini adalah perjalanan menentang matahari, maka kita akan menentangnya. Kita akan menantang cahayanya yang makin siang makin terik itu. Kita akan menatapnya. Dengan berani. Tidak menunduk. Tidak memicing.
Bahwa setelah siang kita tidak akan melihat matahari, itu adalah cerita lain lagi karena dia tetap mencecar cahaya di punggung kita.
Pernah sekali aku mengajakmu memutar tujuan ke arah barat, tapi kamu menolak.
“Kita tidak akan mengejar apa-apa yang akan terbenam,” katamu. “Kita akan menuju arah di mana dia mulai terbit dan meninggi. Bukan ke arah dia terlihat makin jatuh dan hilang oleh malam.”
Sambil berjalan, aku membayangkan bahwa bila tempat terbit matahari itu memang ada, tentulah akhir perjalanan ini adalah dua buah gunung yang di belakangnya (mungkin) dipan untuk matahari tidur. Kita hanya perlu menaiki gunung itu untuk kemudian membuka rahasia kehidupan matahari di waktu malam. Mungkin dia tidak benar-benar tidur seperti yang aku pikirkan sewaktu kecil dulu. Dia bisa saja membaca buku atau bermain dengan teman-teman matahari lainnya yang menyinari bumi yang lainnya juga. Pemikiran sangat sederhana dari anak yang belum diajarkan astronomi.
Sepanjang perjalanan ini, selama matahari ada di depan kita, kita tidak pernah melihat bayang-bayang. Lalu, setelah siang, bayang-bayang itu muncul, semakin panjang dan semakin panjang. Seolah ingin menegaskan bahwa matahari pun semakin menjauh turun.
Aku tidak suka bayang-bayang. Itu menegaskan kalau aku adalah benda yang tidak tembus cahaya. Tidak seperti embun atau tetes air hujan yang menembuskan cahaya matahari dan membiaskannya menjadi pelangi.
Ketika bayang-bayang itu sampai pada titiknya yang terpanjang, tak lama kemudian dia hilang. Malam pun datang.
Kita tidak berjalan di saat malam karena mudah tersesat. Kita berhenti. Kita beristirahat. Kita membicarakan perjalanan hari ini dengan wajah lelah, kaki pegal, kulit yang makin lama makin menghitam.
Tapi kita akan terus berjalan ke sana. Terus ke timur. Jauh. Ke arah terbit matahari.
Karena kita memang harus berjalan. Menghabiskan hidup dengan melangkahkan kaki ke arah yang kita sudah kita putuskan.
Kita mungkin terlalu berani. Dari sekian banyak arah, kita memilih menentang matahari. Tapi itulah satu-satunya arah yang menjanjikan pemandangan tentang harapan setiap pagi. Kita melihat matahari terbit, kita tidak pernah melihatnya tenggelam. Kita akan membisikkan do’a tentang rindu, harap, dan cemas setiap hari sebelum dia terjaga. Agar tidak ada yang mencuri-dengar kecuali Dia yang lebih dekat dari urat leher kita.
Jadi, kita akan terus berjalan. Ke sana. Terus ke timur. Jauh. Ke arah matahari terbit.
blog ini blog gue, gue bebas ekspresiin diri gue , buat yang gak suka pergi deh, yang suka silahkan di obrak-abrik isi blog ini sesuka lo!!!
Sabtu, 15 Agustus 2015
Menuju ufuk
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar